Internasional
Kapal Indonesia Target Inspeksi PSC di LN

Pelaksanaan azas cabotage yang dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, dalam 10 tahun terakhir belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
“Jumlah armada kapal komersial yang mengibarkan bendera Merah Putih memang meningkat 115%, tapi kapal Indonesia yang melakukan ekspor impor hanya 2%,” kata Hanafi Rustandi, Ketua ITF (International Transport worker’s Federation) Asia Pasifik di Jakarta, Minggu (10/5).
Dikatakan, jumlah armada kapal nasional saat ini sekitar 13.000 unit, atau meningkat 115% dibanding tahun 2005 saat Inpres 5/2005 diterbitkan. Namun bertambahnya armada ini sebagian besar bukan dari kapal baru, melainkan kapal bekas yang beralih menggunakan bendera Indonesia.Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (terdiri lebih dari 17.000 pulau), sangat strategis karena terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta diapit benua Asia dan Australia.
Namun, posisi yang strategis ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pelayaran nasional untuk menguasai transportasi laut dalam perdagangan lokal maupun internasional. Bahkan, masih banyak muatan lokal yang mestinya hanya boleh diangkut kapal lokal, tapi justru diangkut oleh kapal asing.
“Armada kapal nasional belum mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Bahkan, untuk kegiatan ekspor impor tetap dikuasai oleh kapal asing. Pelayaran nasional hanya jadi penonton, karena baru mampu melaksanakan angkutan antar pulau di dalam negeri,” ujarnya prihatin.
Menurut Hanafi, dampak Inpres itu memicu banyak kapal asing beralih ke bendera Indonesia. Namun, ia meragukan proses peralihan bendera itu telah mengikuti aturan yang baku, atau hanya sekedar formalitas agar kapal tersebut mendapatkan muatan.
“Kalau ditemukan bukti proses pengalihan bendera itu tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan pemerintah, perusahaan pelayaran itu harus ditindak tegas. Tindakan tegas juga harus dilakukan terhadap pelanggaran penggunaan awak kapal, karena banyak ditemukan orang asing menjadi awak kapal yang telah ganti bendera (Indonesia),” tandas Hanafi yang kini sebagai Presiden Eksekutif Kesatuan Pelaut Indonesia.
KAPAL DITAHAN
Lebih jauh Hanafi mengingatkan, implementasi Inpres 5/2005 harus dibarengi dengan peningkatan perlindungan, kesejahteraan dan jaminan sosial bagi awak kapalnya, karena ini merupakan soko-guru utama dalam kelancaran operasional angkutan laut.
“Semua ini hanya dapat diwujudkan apabila pemerintah Indonesia meratifikasi ILO Maritime Labor Convention (MLC) dan mengimplementasikannya secara benar, terukur dan terarah terhadap semua armada nasional,” ujarnya.
Hanafi mengingatkan, akibat lambannya pemerintah Indonesia meratifikasi ILO MLC, maka kapal-kapal berbendera Indonesia akan menjadi target inspeksi Port State Control (PSC) di pelabuhan-pelabuhan asing. Mereka tahu bahwa selainDeclaration of Maritime Labour Compliance (DMLC) yang ada di kapal-kapal tersebut diterbitkan oleh Biro Klasifikasi asing, ternyata ketentuan-ketentuan MLC tidak diterapkan di atas kapal.
Hanafi merinci beberapa kapal Indonesia yang terkena sanksi oleh PSC di pelabuhan asing akibat tidak diimplementasikannya ketentuan-ketentuan MLC di atas kapal. Antara lain, MV. Meratus Sangata di pelabuhan Alma, Queensland - Australia, MV. Ocean Sparkle di pelabuhan Algeciras-Spanyol, MV. Kayu Ramin di pelabuhan Magdalla-India dan MV. Kayu Putih di pelabuhan Qinhuangdao-Cina.
“Kapal-kapal tersebut ditahan karena berbagai kekurangan yang ditemukan oleh PSC di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Antara lain gaji pelaut tidak dibayar, persediaan makanan & air minum terbatas, akomodasi & perlengkapan dapur tidak memenuhi standar kesehatan dan lain-lain,” jelasnya.
Lebih lanjut Hanafi juga menjelaskan bahwa di kapal MV. Ocean Sparkle, MV. Kayu Ramin dan MV. Kayu Putih, ternyata nakhoda dan sebagian besar awaknya adalah orang asing. Ini jelas-jelas melanggar ketentuan UU No. 17/2008 (Pelayaran) yang mewajibkan kapal berbendera Indonesia diawaki oleh pelaut Indonesia.
Pelanggaran-pelanggaran seperti ini sangat memalukan dan merugikan nama baik Indonesia di mata internasional. Untuk itu, Hanafi minta pemerintah jangan pasif dan harus bertindak tegas dan tidak memberikan toleransi apapun kepada perusahaan-perusahaan pelayaran atau pemilik kapal tersebut. (KPI Redaksional)
