Nasional
Pengalihan Bendera Kapal Asing Harus Diawasi Ketat
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mengharapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi tetap melanjutkan penerapan azas cabotage secara konsisten. Bahkan perlu semakin digalakkan dengan pengawalan yang ketat, dalam upaya mendukung program tol laut yang ditetapkan Presiden Joko Widodo. “Asas cabotage yang diterapkan selama sepuluh tahun terakhir berhasil meningkatkan jumlah armada kapal nasional sampai 120%. Dan ini jelas membuka peluang bagi pelaut bekerja di kapal,†kata Penasehat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KPI, Hanafi Rustandi di Jakarta, Rabu (3/8).
Dikatakan, penerapan azas cabotage berdasarkan Inpres No.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang kemudian diperkuat dengan UU No.17/2008 tentang Pelayaran. Pada 2015 jumlah kapal niaga berbendera Indonesia baru 6.041 unit, tapi pada 2015 menjadi 13.326 unit, atau naik 120%. Meningkatnya jumlah armada kapal nasional ini, kata Hanafi, karena meningkatkan investasi di usaha pelayaran. Baik pengusaha nasional dengan membangun kapal di dalam negeri atau membeli dari luar negeri, maupun pihak asing yang mengalihkan kapalnya menggunakan bendera Indonesia.
Hanafi menjelaskan, azas cabotase memberi hak kepada perusahaan pelayaran Indonesia untuk beroperasi secara eksklusif di perairan Indonesia . Seluruh kapal yang berlayar harus berbendera Merah Putih.
Namun, ia menilai penerapan azas cabotage masih banyak terjadi pelanggaran, khususnya upah pelaut masih rendah karena sampai saat ini belum ada standar nasional.â€Pemerintah harus segera menetapkan standar upah pelaut secara nasional,†tegasnya.
Selain itu, KPI menilai selama ini pemerintah hanya terfokus pada keuntungan investasi dan pengembangan armada pelayaran, tanpa menyentuh sedikitpun menyangkut pemberdayaan SDM pelaksananya. Untuk itu, KPI mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi MLC (Maritime Labour Convention) yang telah diberlakukan di seluruh dunia sejak Agustus 2014 oleh International Labour Organization (ILO).
MLC memberikan payung hukum yang jelas bagi perlindungan dan kesejahteraan pelaut sebagai soko guru utama dalam roda transportasi di sektor maritim. Lambannya pemerintah meratifikasi MLC bukan hanya berakibat kurangnya perlindungan maupun minimnya standar kesejahteraan bagi pelaut, tapi juga berakibat banyak kapal Indonesia terkena sanksi oleh PSC (Port State Control) di luar negeri.
Hanafi memberikan contoh ditahannya dua kapal milik perusahaan pelayaran Indonesia di luar negeri saat ini. Yaitu MV. Kayu Ramin (bendera Panama) di pelabuhan Dubai dan MV. Kayu Putih (bendera Indonesia) di pelabuhan Qinhuangdao, Cina. Kedua kapal tersebut meskipun berbeda bendera, tapi sama-sama milik pengusaha Indonesia. “Kedua kapal tersebut ditahan karena PSC menemukan berbagai pelanggaran. Antara lain gaji pelaut tidak dibayar, persediaan makanan dan air minum terbatas, akomodasi dan perlengkapan dapur tidak memenuhi standar kesehatan dan lain-lain,†jelasnya.
Diawasi Ketat
Mengenai prosedur pengalihan bendera bagi kapal-kapal asing untuk beroperasi di Indonesia , lanjut Hanafi, perlu diawasi secara ketat. Ia meragukan proses peralihan bendera itu mengikuti aturan baku, atau sekedar formalitas agar mereka dapat bersaing dengan kapal lokal untuk memperebutkan muatan. Pendaftaran atau registrasi kapal di Indonesia, bisa dilakukan setelah diyakini bahwa kapal tersebut telah dicoret dari daftar kapal di negara yang bersangkutan. Kalau ditemukan bukti proses pengalihan bendera tidak sesuai prosedur yang ditetapkan pemerintah, perusahaan pelayaran itu harus ditindak tegas. Tindakan tegas juga harus dilakukan terhadap pelanggaran penggunaan awak kapal, karena banyak ditemukan orang asing menjadi awak kapal yang telah ganti bendera (Indonesia).
Pengawasan ketat juga perlu dilakukan terhadap investor asing yang bekerja sama dengan pengusaha pelayaran nasional. Dengan demikian, seluruh kapal yang dioperasikan harus menggunakan bendera Indonesia. “Untuk kapal bendera Indonesia, seluruh awaknya harus pelaut Warga Negara Indonesia (WNI),†tegas Hanafi yang juga Ketua Federasi Pekerja Transport Internasional atau Internasional Transport workers’ Federation (ITF) Asia Pasifik.
Contoh kasus terjadi pada kapal MV. Kayu Putih, yang ternyata nakhoda dan sebagian besar awaknya adalah orang asing. Ini jelas melanggar pasal 136 UU No. 17/2008 (Pelayaran), karena kapal berbendera Indonesia wajib diawaki 100 persen oleh pelaut Indonesia. Terkait soal ini, Hanafi juga mengingatkan kapal-kapal Indonesia yang selama ini menggunakan bendera kemudahan atau Flag of Coveniance (FOC) untuk segera kembali mengibarkan bendera Merah Putih. Banyak pengusaha Indonesia yang mendaftarkan kapalnya ke beberapa negara tertentu, misalnya Panama, Honduras, Belize, Bermuda, dan Liberia.
Ia menilai ulah pengusaha tersebut merugikan negara, karena pendaftaran kapal ke negara tersebut untuk menghindari pajak nasional dan ketentuan keselamatan pelayaran maupun regulasi-regulasi nasional lainnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pelaut juga merugikan, karena rata-rata gaji di kapal FOC di bawah ketentuan internasional dan menghindari pelatihan dan sertifikasi sesuai ketentuan internasional.
Hanafi menambahkan dari beberapa laporan Inspektur ITF yang melakukan pemeriksaan rutin ke kapal-kapal di beberapa negara, kedapatan beberapa kapal menggunakan bendera Indonesia, sementara pemiliknya 100% perusahaan asing yang berdomisili di luar Indonesia. Dalam kasus seperti ini, ITF menilai bendera Indonesia dapat dikategorikan sebagai bendera kemudahan karena ketidaksamaan negara bendera kapal dengan negara pemilik kapal (beneficially owner).
Untuk itu Hanafi berpendapat, pemerintah dapat membuat kebijakan Open Registry . Misalnya, pemerintah Norwegia dengan kebijakan Norwegian International Ship Register (NIS), yaitu pemerintah membolehkan pemilik kapal asing untuk mendaftarkan kapalnya menggunakan bendera Norwegia dengan tujuan untuk memperkuat armada kapal-kapal Norwegia agar dapat bersaing dengan kapal-kapal FOC. (KPI Redaksional)
- Perayaan Day of the Seafarer 2016
- Kasus Pembajakan FV. NAHAM 3
- KPI Tak Akan Layani Tuntutan KLB
- KPI Terapkan Lembaga Tripartit Dalam Hubungan Industrial Sub-Sektor Pelayaran
- KPI-INSA Interview by Channel NewsAsia